https://balikpapan.times.co.id/
Berita

Kaleidoskop Media 2025: Dewan Pers Soroti Dominasi Algoritma dan Erosi Nilai Jurnalistik

Sabtu, 27 Desember 2025 - 17:47
Kaleidoskop Media 2025: Dewan Pers Soroti Dominasi Algoritma dan Erosi Nilai Jurnalistik Diskusi Kaleidoskop Media Massa 2025 bertajuk Kebebasan, Keberlanjutan, dan Tantangan Supremasi Algoritma.

TIMES BALIKPAPAN, JAKARTA – Setelah lebih dari dua dekade menikmati iklim kebebasan pers, media di Indonesia justru menghadapi tantangan baru yang kian kompleks.

Ancaman tersebut tidak lagi datang secara frontal dari kekuasaan, melainkan hadir dalam bentuk dominasi algoritma digital serta melemahnya idealisme dari dalam institusi pers itu sendiri.

Isu tersebut mengemuka dalam diskusi Kaleidoskop Media Massa 2025 bertajuk Kebebasan, Keberlanjutan, dan Tantangan Supremasi Algoritma yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan disiarkan melalui podcast Akbar Faizal Uncensored di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (23/12/2025).

Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto, menilai kondisi pers nasional saat ini berada pada fase yang mengkhawatirkan. Menurutnya, istilah “tantangan” sudah tidak lagi memadai untuk menggambarkan situasi yang dihadapi media massa.

“Pers sekarang bukan sekadar menghadapi tantangan, tapi sudah berada dalam posisi terancam. Ancaman itu bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam tubuh pers sendiri,” kata Totok.

Berdasarkan pengalamannya sebagai jurnalis sejak era 1990-an, Totok membandingkan dinamika pers di berbagai masa. Pada era media cetak, persoalan utama berkisar pada distribusi dan oplah. Saat televisi berkembang, persaingan masih terbatas antarprogram berita. Bahkan pada fase awal media daring, tantangan dinilai masih rasional dan dapat dikelola.

Perubahan signifikan terjadi ketika algoritma platform digital mengambil alih arus distribusi informasi. Kecepatan yang dahulu menjadi keunggulan utama media kini kehilangan relevansinya, karena media sosial mampu menyebarkan informasi secara instan tanpa proses verifikasi.

Situasi tersebut, lanjut Totok, memicu kegelisahan di kalangan insan pers tentang posisi dan relevansi media di mata publik. Ia mempertanyakan apakah karya jurnalistik masih menjadi rujukan utama masyarakat di tengah banjir informasi digital.

Ia menilai, tekanan terbesar terhadap kebebasan pers justru muncul dari keputusan internal media. Jika pada masa lalu kepentingan pemilik modal atau kekuasaan menjadi faktor pembatas, kini pers kerap membatasi dirinya sendiri demi bertahan secara bisnis.

“Dulu publik bertanya, media ini milik siapa. Sekarang, algoritma menekan dari sisi ekonomi, lalu diperparah oleh perubahan sikap dan orientasi pers itu sendiri,” ujarnya.

Totok juga mengkritisi kecenderungan media yang semakin kabur batasnya dengan praktik kehumasan. Demi keberlangsungan usaha, sebagian media dinilai mengorbankan nilai-nilai jurnalistik dan menampilkan praktik tersebut secara terbuka.

“Jika nilai dasar pers justru dihilangkan oleh pelaku pers sendiri, dampaknya jauh lebih berbahaya dibanding tekanan eksternal,” katanya.

Ia mengingatkan agar media tetap menjaga jarak kritis dengan kekuasaan. Menyampaikan pernyataan pejabat merupakan bagian dari fungsi jurnalistik, namun kepentingan publik harus tetap menjadi orientasi utama.

“Kepercayaan publik adalah mahkota pers. Kritik kepada pemerintah bukan bentuk permusuhan, melainkan wujud tanggung jawab pers kepada masyarakat,” tegasnya.

Dalam konteks keberlanjutan, Totok menilai persoalan mendasar bukan sekadar kemampuan media bertahan secara finansial, tetapi menjaga identitas dan fungsi jurnalistiknya. Menurutnya, keberlangsungan media tidak boleh dibayar dengan hilangnya integritas.

Ia juga menyinggung media sosial sebagai tantangan serius bagi pers arus utama. Meski demikian, ia menilai media profesional masih memiliki keunggulan karena media sosial belum sepenuhnya terikat pada kode etik jurnalistik.

“Jika media sosial menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik secara ketat—mulai dari verifikasi hingga keberimbangan—maka tantangan bagi pers akan jauh lebih berat,” ujarnya.

Dominasi algoritma, lanjut Totok, telah menciptakan bentuk supremasi baru yang memengaruhi selera publik sekaligus arah pemberitaan. Dalam kondisi tersebut, media tidak lagi sepenuhnya berdaulat atas konten yang diproduksi.

“Tantangan pers Indonesia saat ini sangat berat. Jika tidak mampu menjaga jati diri, pers yang selama ini kuat dan bersejarah bisa tinggal menjadi catatan masa lalu,” pungkasnya.

Diskusi Kaleidoskop Media Massa 2025 turut dihadiri Pelaksana Tugas Direktur Ekosistem Media Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital Farida Dewi Maharani, Anggota Dewan Pers Rosarita Niken Widiastuti, Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir, Anggota Dewan Pakar PWI Pusat Effendi Ghazali dan Sujiwo Tedjo, serta sejumlah pemimpin redaksi dan insan pers dari berbagai media. (*)

Pewarta : Rochmat Shobirin
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Balikpapan just now

Welcome to TIMES Balikpapan

TIMES Balikpapan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.