TIMES BALIKPAPAN, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus anggota DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), mengingatkan publik dan pemangku kepentingan akan potensi ancaman besar dari kemajuan teknologi komputasi kuantum. Meski diyakini sebagai terobosan teknologi terbesar abad ini, komputasi kuantum berpotensi mengoyak sistem keamanan digital yang selama ini dianggap kokoh.
“Komputer kuantum tidak bekerja dengan sistem biner ‘0’ dan ‘1’ seperti komputer klasik, melainkan menggunakan qubit yang bisa berada dalam kondisi superposisi. Ini memungkinkan perhitungan eksponensial jauh lebih cepat, tetapi di sisi lain juga membahayakan algoritma enkripsi modern seperti RSA dan ECC yang digunakan dalam sistem perbankan, komunikasi militer, hingga transaksi digital,” kata Bamsoet dalam diskusi terbatas LAB 45 yang digelar bersama pendirinya, Andi Widjajanto, di Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Mantan Ketua MPR RI dan DPR RI itu mengutip studi dari National Institute of Standards and Technology (NIST) Amerika Serikat, yang memperkirakan bahwa komputer kuantum berskala besar yang mampu membobol enkripsi RSA 2048-bit bisa tercipta dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Namun, dampaknya sudah terasa sejak sekarang. Ia menyoroti praktik "harvest now, decrypt later", yaitu strategi mengumpulkan data terenkripsi hari ini untuk dipecahkan di masa mendatang ketika komputer kuantum sudah tersedia.
"Artinya, data rahasia seperti intelijen, rekam medis, atau informasi bisnis yang hari ini dianggap aman, bisa terbuka di masa depan dan menjadi konsumsi publik," jelasnya.
Lebih lanjut, Bamsoet memperingatkan bahwa risiko kuantum bukan hanya berdampak pada privasi individu, tapi juga bisa mengganggu sistem vital negara. Infrastruktur penting seperti jaringan listrik, transportasi, dan rumah sakit modern sangat bergantung pada komunikasi terenkripsi. Jika sistem pertahanannya bobol, maka potensi sabotase, gangguan operasional, hingga lumpuhnya layanan publik menjadi ancaman nyata.
Tak hanya itu, sektor blockchain juga tidak kebal terhadap risiko ini. “Kriptografi yang digunakan dalam sistem seperti Bitcoin dapat dihancurkan oleh kekuatan komputer kuantum. Bahkan pendiri Ethereum, Vitalik Buterin, sudah mengingatkan pentingnya beralih ke kriptografi pasca-kuantum agar jaringannya tetap aman di masa depan,” ungkap Bamsoet.
Ancaman lain datang dari rantai pasok teknologi itu sendiri. Menurutnya, komponen utama seperti chip superconducting dan laser presisi tinggi hanya diproduksi oleh negara atau perusahaan tertentu. Ketergantungan ini menciptakan celah bagi sabotase atau penyisipan backdoor perangkat keras sejak awal produksi—sebuah ancaman yang bahkan lebih serius dari isu global seputar teknologi 5G beberapa tahun lalu.
Melihat kondisi tersebut, Bamsoet mendorong agar Indonesia segera mengambil langkah preventif. Dengan ekosistem digital yang berkembang pesat—dari layanan perbankan, e-commerce, hingga sistem pemerintahan berbasis cloud—Indonesia berisiko tinggi jika terlambat beradaptasi terhadap tantangan baru ini.
“Saya mengusulkan agar pemerintah, kalangan akademik, dan pelaku industri teknologi segera membentuk konsorsium untuk menyusun kebijakan transisi menuju enkripsi tahan kuantum. Termasuk di dalamnya menyusun peta jalan mitigasi risiko teknologi kuantum secara nasional,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Bamsoet Soroti Ancaman Komputasi Kuantum dalam Diskusi Bersama Andi Widjajanto dan LAB 45
Pewarta | : Rochmat Shobirin |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |